Berhatilah-hatilah ya Akhi!
Ululalbab.or.id- Sebagai catatan pembuka kali ini, mari kita sejenak merenungi nasehat yang disampaikan oleh Abu Sulaiman ad-Darani Rahimahullah, tabiin yang pernah dibangunkan bidadari dalam shalat malamnya. Nasehat emas ini diabadikan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah (9/257) dan Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah (2/381 dan 2/390).
Nasehat Abu Sulaiman ad-Darani tersebut dihikayatkan oleh muridnya, Ahmad bin Abil Hawari. Bunyi nasehat tersebut adalah:
كُلَّمَا ارْتَفَعَتْ مَنْزِلَةُ الْقَلْبِ كَانَتِ الْعُقُوبَةُ إِلَيْهِ أَسْرَعُ
Makna nasehat tersebut di atas kurang lebih seperti ini,
“Semakin tinggi kedudukan hati seorang hamba di sisi Allah Ta’ala, maka hukuman akan cepat melesat kepadanya tatkala ia berbuat durhaka dan maksiat kepada-Nya.”
Sejatinya, nasehat ini adalah hasil perenungan mendalam yang dirasakan oleh Abu Sulaiman ad-Darani. Ia menyimpulkan bahwa jika seorang hamba dikarunia taufik untuk merasakan nikmatnya munajat-munajat yang ia panjatkan, diberi hidayah untuk mendekat kepada Allah dengan berbagai macam ibadah –tilawah, menuntut ilmu dan ibadah-ibadah sunah, dihadiahi berbagai macam pintu-pintu kebajikan untuk mengetuk pintu rahmat-Nya, dianugerahi lezatnya bermesraan dengan Allah Ta’ala dalam shalat malamnya, hingga ia merasakan kedekatan dirinya dengan Allah Ta’ala. Lalu ia berpaling dari nikmat tersebut, dan memilih memperturutkan hawa nafsu yang justru menggelisahkan hatinya, maka hendaknya ia berhati-hati, bisa jadi Allah akan mencerabut nikmat-nikmat itu seluruhnya, seketika itu juga.
Alangkah beratnya! Alangkah hebatnya! Alangkah ngerinya!
Ingatkah kita terhadap kisah Bal’am? Mungkin seperti itulah gambarannya.
Ingatkah kita terhadap kisah yang dialami oleh sahabat Abdah bin Abdurrahim? Mungkin seperti itulah permisalannya.
Sungguh, hukuman itu sangat berat! Orang yang mendekat menuju Allah, sedekat-dekatnya; dalam shalat malamnya dengan derai airmata, dalam tilawah dengan hati yang dicekam rasa takut kepada-Nya, dalam khalwahnya yang diisi dengan penyesalan sepenuh jiwa atas dosa-dosanya, dalam ibadah dan berbagai bentuk ketaatan yang disertai rasa cinta, harap dan takut itu akan dihukum oleh Allah, jika ia bermaksiat-durhaka kepada-Nya. Sekalipun, dosa dan maksiat itu ‘kecil’ di mata manusia.
Di dalam salah satu ceramahnya, Syaikh Khamis az-Zahrani menyebutkan sebuah kisah; kisah yang amat berharga, yang menjadi penguat terhadap nasehat yang disampaikan oleh tabiin agung itu, Abu Sulaiman ad-Darani Rahimahullah. Kisah ini diambil dari video yang dipublish oleh kajian al-amiry.
Sebelum menyampaikan kisah ini, Syaikh Khamis terlebih dahulu mengingatkan bahwa setiap kita pasti diuji oleh Allah Ta’ala; ada yang diuji dengan harta, ada yang diuji dengan wanita, ada yang diuji dengan tahta, ada yang diuji dengan dunia, ada yang diuji dengan riba, ada yang diuji dengan ujian-ujian lainnya. Di antara kita ada yang berhasil melaluinya, tapi tidak sedikit dari kita yang gagal dalam menghadapinya.
Salah satu bentuk kegagalan dalam menghadapi fitnah ini adalah kisah salah seorang ulama yang murtad, hanya tersebab nadhrah (memandang wanita yang bukan mahramnya). Tetapi kemudian Allah menunjukkan kasih-sayang-Nya, dan mengembalikan ulama tersebut kepada agama yang dicintai-Nya, Islam.
Syaikh Khamis az-Zahrani menghikayatkan bahwa ada seorang syaikh (ustadz) yang sering mengisi kajian-kajian keislaman. Suatu ketika ia diuji oleh Allah dengan seorang wanita, lalu ia murtad dari agamanya. Sungguh, musibah yang sangat berat!
Maka, setelah tahu bahwa syaikh ini murtad, murid-muridnya menghampiri dan bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi? Kenapa engkau?”
“Telah terjadi sesuatu. Pergilah kalian untuk haji, dan tinggalkanlah aku sendiri.”
Akhirnya, murid-muridnya pun pergi haji. Dan sekembalinya dari pergi hari haji, mereka melewati syaikh mereka. Mereka mengingatkan, menasehati, dan memberikan teguran serta mengajak syaikhnya untuk kembali kepada Allah, dan menjelaskan ayat-ayat Qur’ani dan hadits-hadits Nabawi. Tetapi nihil! Ia tetap dalam pendiriannya.
Syaikhnya kemudian menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya seluruh hafalan al-Qur’anku telah hilang, kecuali satu ayat saja yang masih aku ingat.”
“Maka,” lanjut syaikh Khamis di sela-sela pemaparan kisah tersebut, “aku katakana kepada para penuntut ilmu, masyayikh, segenap ulama, huffazhul Qur’an, bahwa yang mengajari kita adalah Allah. Yang membuat kita faham adalah Allah. Dan yang membuat kita hafal al-Qur’an adalah Allah. Maka, jika kita tidak beradab kepada Allah, maka Allah akan mengambil karunia-Nya.”
Lihatlah! Betapa beratnya hukuman itu! Seorang syaikh yang biasa mengisi pengajian, dan menunjukkan manusia kepada kebajikan-kebajikan dihukum langsung oleh Allah Ta’ala. “Maka ketika mereka berpaling dari Allah, Allah palingkan hati mereka.” (ash-Shaff: 5).
Terkadang kalau hati sudah berpaling, seorang hamba tidak merasakan hal itu; ia merasa bahwa ia sama seperti kondisi dirinya 20 atau 30 tahun yang lalu. Dia tidak melihat fakta bahwa dirinya telah jauh dari Allah. Dulu, ia selalu ia berada di shaf pertama tapi kini menjadi di shaf terakhir. Dulu, ia sering menangis karena kepada Allah dan siksa-Nya, tapi kini ia menjadi orang yang suka tertawa-tawa. Dulu, ia menjadi orang yang berilmu, tapi kini ia menjadi orang yang jahil. Dulu, ia menjadi orang yang zuhud dan wara’, tapi kita menjadi ahli syahwat, tidak memperdulikan halal-haramnya makan-minum yang masuk ke perutnya. Demikianlah, banyak orang yang tidak sadar dengan kondisi dirinya.
Kita kembali kisah syaikh yang murtad tadi. Dia mengatakan, “Aku lupas seluruh hafalan al-Qur’anku, kecuali satu ayat saja.”
Ayat apakah itu?
Ayat itu adalah, “Seringkali orang-orang kafir (di akhirat nanti) ingin kalau dulu ketika berada di dunia mereka adalah orang-orang muslim.” (al-Hijr: 2).
Sebuah ayat yang masih Allah simpan di dalam hatinya adalah ayat dua dari surat al-Hijr. Dan, satu ayat ini bisa menggetarkan hatinya. Ayat ini seolah mengajak bicara kepada hatinya. Allah menjadikan ayat ini masih ada di hatinya karena Allah adalah Dzat yang Maha Penyayang, bahkan yang paling penyayang.
Allah paling penyayang, dan kita menyaksikan kasih-sayangnya yang tak berbilang.
Kita melihat ada orang yang bergelimang dengan berbagai maksiat, dosa dan durhaka, tetapi subhanallah, ada secercah cahaya di dalam hatinya, hingga Allah mengeluarkan dia dari maksiat, dosa dan durhaka dan menerangi hatinya dengan cahaya taubat nashuha.
Sebuah ayat, atau hadits, atau kisah shahabat, atau kisah para Nabi.
Maka, sebelumnya datangnya ujian-ujian, mari kita banyak berinteraksi dengan al-Qur’an, agar ada keterkaitan yang erat antara hati kita dengan al-Qur’an. Karena betapa banyak orang yang sudah tua, dan jauh dari Allah, mereka dikembalikan oleh Allah tersebab satu ayat yang masih dihafalnya, atau satu ayat yang didengar dan direnungi maknanya.
Iya, satu ayat dalam surat al-Hijr ayat dua ini mengembalikan syaikh yang murtad tersebut kepada Islam.
“Seringkali orang-orang kafir (di akhirat nanti) ingin kalau dulu ketika berada di dunia mereka adalah orang-orang muslim.” (al-Hijr: 2).
Lihatlah! Satu ayat ini mengembalikan dia setelah fitnah besar itu, murtad?
Dia terfitnah dengan apa? Dengan wanita. Dengan nadhrah (memandang wanita yang bukan mahram).
Dia murtad gara-gara memandang seorang wanita, padahal ia adalah seorang alim. Sementara kita, kita bukan ulama.
Terkadang kita tidak hafal al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an tidak bisa menggetarkan hati kita. Kita bahkan terfitnah dengan fitnah yang lebih besar.
Kita kembali ke kisah tadi, karena putus asa tidak bisa mengembalikan syaikhnya kepada agama Islam, mereka kemudian pulang dengan hati yang tercabik-cabik. Hanya mereka yang tahu betapa pedihnya hati mereka menyaksikan orang yang menunjukkan mereka kepada kebenaran murtad dari Islam.
Tetapi setelah ditinggalkan oleh murid-muridnya, ia duduk seorang diri. Dan meresapi makna ayat yang barusan dibacanya, ia kemudian menangis. Ia menyusul murid-muridnya, dan mencabut kalung salibnya, mengucapkan kalimat syahadat, dan pulang bersama mereka, dan kembali lagi masuk Islam.
Ia pulang ke rumahnya, dan kembali menuntut ilmu. Karena seluruh ilmu yang dulu dikuasainya dicabut oleh Allah. Ia menuntut ilmu, dan mengulang ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan juga ilmu-ilmu yang ia butuhkan.
Karena kejujuran taubatnya, Allah mengembalikan hafalan al-Qur’annya. Karena kebersihan hatinya, Allah mengembalikan hafalan haditsnya. Karena kejernihan niatnya untuk kembali kepada Allah, Allah mengembalikan ilmu-ilmunya. Betapa indahnya taubat! Dan betapa lembut hati orang yang bertaubat! Kembalilah kepada Allah, maka Allah akan mendatangimu. “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah.” (at-Tahrim: 8).
Dia bertaubat setelah sebelumnya gagal.
Syaikh yang murtad ini kembali kepada Allah, dan mendapati Allah paling penyayang. Maka, Allah mengembalikan ilmu dan hafalan al-Qur’annya. Hingga suatu ketika ia kembali duduk mengajarkan ilmunya, dan menujukkan jalan-jalan kebajikan kepada manusia.
Pada suatu hari, di majlisnya ada seorang pemudi yang memakai pakaian muslimah. Ia menutup tubuhnya rapat-rapat. Ia menundukkan pandangannya di hadapan syaikh, dan syaikh ini kemudian menangis.
Murid-muridnya pun bertanya, “Rahimakallah ya Syaikh, ma abkaka…., semoga Allah merahmatimu wahai syaikh, apa yang membuatmu menangis?”
Syaikh tersebut menjawab, “Tahukah kalian siapa wanita ini? Dialah yang menjadikan sebab aku masuk ke dalam agama Nashrani. Allah mendatangkannya di atas agama Islam, dan memakai hijab, dan ia ingin agar aku menjadi suaminya.”
MasyaAllah! Betapa banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah di atas.
Dan alangkah benarnya ucapan Abu Sulaiman ad-Darani,
كُلَّمَا ارْتَفَعَتْ مَنْزِلَةُ الْقَلْبِ كَانَتِ الْعُقُوبَةُ إِلَيْهِ أَسْرَعُ
“Semakin tinggi kedudukan hati seorang hamba di sisi Allah Ta’ala, maka hukuman akan cepat melesat kepadanya tatkala ia berbuat durhaka dan maksiat kepada-Nya.”
Penulis: Ibnu Abdil Bari (Salah satu staf pengajar di PPTQ Ulul Albab dan penulis buku-buku islami)